Berada di pesisir pantai bukan alasan utama
menjadikan Desa Lero sebagai kampung nelayan. Namun, desa yang
penduduknya mayoritas suku Madar ini juga dibangun oleh salah satu
nakhoda kapal bernama La Bora. Seperti apa ia?
Desa Lero adalah salah satu daerah di sebuah tanjung. Berlokasi di
Kecamata Suppa, Kabuparten Pinrang, desa ini berhadapan langsung dengan
Kota Parepare. Hanya dipisahkan oleh laut, Teluk Parepare. Menjangka
desa ini, hanya hitungan menit jika menyeberang dari dermaga di
Parepare. Namun butuh sekira satu jam jika lewat darat ke Kecamatan
Suppa, Kabupaten Pinrang, dari Kota Parepare.
Desa yang dihuni sekitar 1.800 KK ini dulunya adarah daerah
persinggahan. Baik para
nelayan maupun pedagang yang hendak menuju
daerah lain. Desa ini dihuni dan dikembangkan oleh seorang nakhoda
kapal yang juga seorang pedagang bernama La Bora (Ibrahim). Labora
yang lebih dikenal dengan nama Ana’kora berasal dari tanah Mandar
Ba’babulo, wilayah Kabupaten Majene, pada tahun 1903.
Ihwal keberadaan desa seluas 47,5 hektare ini adalah saat La bora mampir
sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri daerah pesisir pantai di
Selat Makassar. Karena sedih melihat pulau tak bertuan, begitu bertemu
dengan penguasa dari Gowa, Sombae Ri Gowa yang ingin diantar ke
pelabuhan Paotere Makassar, La Bora menyatakan maksudnya.
Singkat cerita, karena kebaikan hati Sombae ri Gowa, La Bora diizinkan
tinggal dan berkebun di pulau tersebut. Selanjutnya, Sombae ri Gowa
menulis surat yang ditujukan kepada penguasa kerajaan Suppa dalam hal
ini Datu’ Suppa sebagai penguasa wilayah di mana Lero termasuk dalam
wilayah kekuasaannya. Surat tersebut dibawa dan diantar langsung oleh La
Bora kepada Datu’ Suppa dan kemudian Sang Datu’ Suppa merestui
sehingga La Bora kembali ke tanah Mandar dan mengajak keluarganya untuk
menetap di Lero.
Keluar La Bora pun betah tinggal di Lero yang akhirnya diikuti oleh
orang-orang atau keluarga lain yang juga berasal dari tanah Mandar.
Menurut Sekretaris Desa Lero, Ahmad Syarif, yang juga warga Desa Lero,
secara sosial ekonomi, penduduk Lero termasuk dalam kategori pra
sejahtera. 75 persen hidup sebagai nelayan meski sebahagian ada juga
yang hanya membuat kapal.
Senada dikatakan Hasan, juragan kapal di desa tersebut. Menurutnya,
setiap tahunnya, Pemerintah Kabupaten Pinrang menganggarkan dana untuk
pembuatan kapal. Ini dibagi kepada tiap kelompok nelayan. Meski tidak
melulu kepada penduduk Desa Lero. "Pembuatanya pasti di Desa Lero ini
dengan anggaran hampir Rp650 juta," kata Hasan.
Saat ini, Ujung Lero dihuni oleh dua suku, yaitu Mandar dan Bugis. Akan
tetapi jika dipersentase, kebanyakan warganya adalah suku Mandar. Di
daerah ini, sekitar 80 persen penduduknya hidup sebagai nelayan.
Selain mengandalkan hidup dari hasil laut, sebagian mereka juga menjadi
pedagang dan penenung sutra. Ujung Lero dengan segala keindahan dan
keramahan penduduknya, sungguh adalah pesona yang tersembunyi. Dengan
keindahan panorama alamnya, khususnya pantai, desa ini layak
dikembangkan sebagai objek wisata bahari.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Lero, Desa yang Dibangun Seorang Nakhoda
Berada di pesisir pantai bukan alasan utama
menjadikan Desa Lero sebagai kampung nelayan. Namun, desa yang
penduduknya mayoritas suku Madar ini juga dibangun oleh salah satu
nakhoda kapal bernama La Bora. Seperti apa ia?
Desa Lero adalah salah satu daerah di sebuah tanjung. Berlokasi di Kecamata Suppa, Kabuparten Pinrang, desa ini berhadapan langsung dengan Kota Parepare. Hanya dipisahkan oleh laut, Teluk Parepare. Menjangka desa ini, hanya hitungan menit jika menyeberang dari dermaga di Parepare. Namun butuh sekira satu jam jika lewat darat ke Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, dari Kota Parepare.
Desa yang dihuni sekitar 1.800 KK ini dulunya adarah daerah persinggahan. Baik para
nelayan maupun pedagang yang hendak menuju daerah lain. Desa ini dihuni dan dikembangkan oleh seorang nakhoda kapal yang juga seorang pedagang bernama La Bora (Ibrahim). Labora yang lebih dikenal dengan nama Ana’kora berasal dari tanah Mandar Ba’babulo, wilayah Kabupaten Majene, pada tahun 1903.
Ihwal keberadaan desa seluas 47,5 hektare ini adalah saat La bora mampir sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri daerah pesisir pantai di Selat Makassar. Karena sedih melihat pulau tak bertuan, begitu bertemu dengan penguasa dari Gowa, Sombae Ri Gowa yang ingin diantar ke pelabuhan Paotere Makassar, La Bora menyatakan maksudnya.
Singkat cerita, karena kebaikan hati Sombae ri Gowa, La Bora diizinkan tinggal dan berkebun di pulau tersebut. Selanjutnya, Sombae ri Gowa menulis surat yang ditujukan kepada penguasa kerajaan Suppa dalam hal ini Datu’ Suppa sebagai penguasa wilayah di mana Lero termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Surat tersebut dibawa dan diantar langsung oleh La Bora kepada Datu’ Suppa dan kemudian Sang Datu’ Suppa merestui sehingga La Bora kembali ke tanah Mandar dan mengajak keluarganya untuk menetap di Lero.
Keluar La Bora pun betah tinggal di Lero yang akhirnya diikuti oleh orang-orang atau keluarga lain yang juga berasal dari tanah Mandar. Menurut Sekretaris Desa Lero, Ahmad Syarif, yang juga warga Desa Lero, secara sosial ekonomi, penduduk Lero termasuk dalam kategori pra sejahtera. 75 persen hidup sebagai nelayan meski sebahagian ada juga yang hanya membuat kapal.
Senada dikatakan Hasan, juragan kapal di desa tersebut. Menurutnya, setiap tahunnya, Pemerintah Kabupaten Pinrang menganggarkan dana untuk pembuatan kapal. Ini dibagi kepada tiap kelompok nelayan. Meski tidak melulu kepada penduduk Desa Lero. "Pembuatanya pasti di Desa Lero ini dengan anggaran hampir Rp650 juta," kata Hasan.
Saat ini, Ujung Lero dihuni oleh dua suku, yaitu Mandar dan Bugis. Akan tetapi jika dipersentase, kebanyakan warganya adalah suku Mandar. Di daerah ini, sekitar 80 persen penduduknya hidup sebagai nelayan.
Selain mengandalkan hidup dari hasil laut, sebagian mereka juga menjadi pedagang dan penenung sutra. Ujung Lero dengan segala keindahan dan keramahan penduduknya, sungguh adalah pesona yang tersembunyi. Dengan keindahan panorama alamnya, khususnya pantai, desa ini layak dikembangkan sebagai objek wisata bahari.
Desa Lero adalah salah satu daerah di sebuah tanjung. Berlokasi di Kecamata Suppa, Kabuparten Pinrang, desa ini berhadapan langsung dengan Kota Parepare. Hanya dipisahkan oleh laut, Teluk Parepare. Menjangka desa ini, hanya hitungan menit jika menyeberang dari dermaga di Parepare. Namun butuh sekira satu jam jika lewat darat ke Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, dari Kota Parepare.
Desa yang dihuni sekitar 1.800 KK ini dulunya adarah daerah persinggahan. Baik para
nelayan maupun pedagang yang hendak menuju daerah lain. Desa ini dihuni dan dikembangkan oleh seorang nakhoda kapal yang juga seorang pedagang bernama La Bora (Ibrahim). Labora yang lebih dikenal dengan nama Ana’kora berasal dari tanah Mandar Ba’babulo, wilayah Kabupaten Majene, pada tahun 1903.
Ihwal keberadaan desa seluas 47,5 hektare ini adalah saat La bora mampir sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri daerah pesisir pantai di Selat Makassar. Karena sedih melihat pulau tak bertuan, begitu bertemu dengan penguasa dari Gowa, Sombae Ri Gowa yang ingin diantar ke pelabuhan Paotere Makassar, La Bora menyatakan maksudnya.
Singkat cerita, karena kebaikan hati Sombae ri Gowa, La Bora diizinkan tinggal dan berkebun di pulau tersebut. Selanjutnya, Sombae ri Gowa menulis surat yang ditujukan kepada penguasa kerajaan Suppa dalam hal ini Datu’ Suppa sebagai penguasa wilayah di mana Lero termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Surat tersebut dibawa dan diantar langsung oleh La Bora kepada Datu’ Suppa dan kemudian Sang Datu’ Suppa merestui sehingga La Bora kembali ke tanah Mandar dan mengajak keluarganya untuk menetap di Lero.
Keluar La Bora pun betah tinggal di Lero yang akhirnya diikuti oleh orang-orang atau keluarga lain yang juga berasal dari tanah Mandar. Menurut Sekretaris Desa Lero, Ahmad Syarif, yang juga warga Desa Lero, secara sosial ekonomi, penduduk Lero termasuk dalam kategori pra sejahtera. 75 persen hidup sebagai nelayan meski sebahagian ada juga yang hanya membuat kapal.
Senada dikatakan Hasan, juragan kapal di desa tersebut. Menurutnya, setiap tahunnya, Pemerintah Kabupaten Pinrang menganggarkan dana untuk pembuatan kapal. Ini dibagi kepada tiap kelompok nelayan. Meski tidak melulu kepada penduduk Desa Lero. "Pembuatanya pasti di Desa Lero ini dengan anggaran hampir Rp650 juta," kata Hasan.
Saat ini, Ujung Lero dihuni oleh dua suku, yaitu Mandar dan Bugis. Akan tetapi jika dipersentase, kebanyakan warganya adalah suku Mandar. Di daerah ini, sekitar 80 persen penduduknya hidup sebagai nelayan.
Selain mengandalkan hidup dari hasil laut, sebagian mereka juga menjadi pedagang dan penenung sutra. Ujung Lero dengan segala keindahan dan keramahan penduduknya, sungguh adalah pesona yang tersembunyi. Dengan keindahan panorama alamnya, khususnya pantai, desa ini layak dikembangkan sebagai objek wisata bahari.

mengamati
BalasHapus